RAINN/HUJANN
Ah, hujan lagi. Sepertinya, belakangan ini pagi tak pernah lepas dari hujan. Rasanya seperti rutinitas tak terhindarkan, membuat setiap langkahku menuju sekolah jadi lebih malas dari biasanya.
Udara dingin menyelinap saat aku mandi, angin kecil menusuk melalui celah-celah jendela. Hujan turun deras di luar sana, menciptakan irama yang menggema di antara dentingan angin. Aku bisa merasakan suhu dingin yang begitu menusuk, seakan-akan seluruh dunia diselimuti kabut lembap ini.
Setelah selesai mandi, aku melangkah keluar kamar. Langit terlihat sedikit lebih terang. "Mungkin akan cerah" gumamku pelan, mencoba meyakinkan diriku sendiri. Tapi dalam hati, aku tahu hujan mungkin belum akan benar-benar berhenti sebab saat aku melihat langit, awan sudah mulai gelap padahal tadi sudah sedikit cerah.
Berbekal payung di tangan, aku mulai berjalan menuju sekolah. Meski gerimis tipis mulai turun lagi, aku terus melangkah dengan tenang. Udara dingin menyusup, namun aku sudah terbiasa.
Ketika melewati taman, mataku tertuju pada seorang gadis. Ia berdiri diam di sana, tak bergeming, seakan tak peduli pada rintik hujan yang mulai deras. Rambut panjangnya yang putih tergerai, basah sebagian, namun tetap memancarkan keindahan yang sulit dijelaskan. Matanya... ada sesuatu dalam pandangannya yang membuatku tak bisa berpaling.
Aku mendekat perlahan, membiarkan suara langkah kakiku tenggelam dalam suara hujan. "Hei," panggilku, suaraku rendah. "Apa yang kau lakukan disini? Nanti kalau hujan kau bisa sakit."
Dia menoleh perlahan, senyumnya tipis tapi begitu rapuh. "Oh... maaf, aku tidak bermaksud mengganggu."
Aku menggeleng kecil. "Tidak apa-apa. Tapi... Apa yang kau lakukan di sini? kamu bisa sakit lo," tanyaku, tak bisa menyembunyikan rasa penasaran.
Dia terdiam sejenak, matanya menerawang ke kejauhan sebelum akhirnya menjawab pelan. "Aku hanya... ingin menghabiskan waktu sebentar. Aku tidak apa-apa."
Aku mengangkat payungku sedikit, menutupi tubuhnya yang hampir basah sepenuhnya. "Kamu tidak bawa payung, kan?"
Dia tersenyum kecil, menunduk sejenak. "Tidak. Tapi, aku baik-baik saja. Aku akan pulang kok."
Gerimis perlahan berubah menjadi hujan yang lebih deras. Aku melirik jam tangan. Sudah hampir jam 8. Kalau terus begini, aku bisa terlambat ke sekolah. Tapi, melihatnya berdiri di sana tanpa payung membuatku ragu untuk meninggalkannya begitu saja.
Aku menghela napas, lalu mengulurkan payungku padanya. "Pakai ini. Besok kalau kita bertemu lagi, kamu bisa mengembalikan."
Dia menatapku bingung. "Eh? Tapi... bagaimana denganmu?"
"Aku nggak apa-apa. Aku bisa lari. Dan juga hujan masih belum begitu deras," jawabku sambil tersenyum tipis. "Kamu nggak mungkin jalan basah-basahan begini, kan?"
Dia menggeleng pelan, matanya sedikit panik. "Tidak, tidak usah. Aku nggak apa-apa, kamu saja yang pakai. Kamu masih harus ke sekolah, kan?" ucapnya lembut, tapi penuh keyakinan.
Aku menatapnya sebentar, mencoba membaca pikirannya. Dia tampak bersikeras, tapi aku tahu dia akan lebih kesulitan daripada aku jika harus berjalan tanpa payung.
"Kalau begitu..." gumamku pelan, lalu tanpa menunggu jawaban, aku menunduk dan meletakkan payung itu tepat di sampingnya. "Kamu pakai saja. Aku masih ada payung lagi."
Dia menatapku dengan wajah terkejut, tapi sebelum dia sempat berkata apa-apa lagi, aku sudah berbalik dan mulai berlari ke arah sekolah.
Hujan langsung mengguyur tubuhku, dinginnya menusuk sampai ke tulang. Namun, aku tidak berhenti atau menoleh. Aku bisa mendengar suaranya yang memanggil di belakangku, namun suara hujan yang deras membuat kata-katanya sulit tertangkap.
Entah kenapa, langkahku terasa lebih ringan, meskipun hujan terus mengguyur tanpa henti.
Sesampainya di sekolah, aku langsung menuju ruang ganti. Baju seragamku basah terkena hujan, dan untung saja aku selalu membawa seragam cadangan untuk situasi seperti ini. Setelah mengganti pakaian, aku menghela napas lega, meski rasa dingin dari hujan tadi masih sedikit terasa.
Sebelum melangkah ke kelas, aku memeriksa ponsel di sakuku. Ada satu pesan baru dari ibu.
"Souta, jangan lupa makan yang teratur. Uangnya sudah ditransfer tadi pagi. Jaga kesehatan, ya!"
Aku tersenyum kecil membaca pesannya. Ibu memang selalu perhatian, meskipun kami tinggal di kota yang berbeda.
Aku mengetik balasan singkat. "Iya, Bu. Terima kasih. Nanti aku sempatkan beli makanan yang enak. Jangan khawatir."
Setelah mengirim pesan itu, aku merasa sedikit lebih ringan. Meskipun aku hidup sendiri di sini, aku tahu mereka tetap mendukungku.
Langkahku terasa lebih ringan setelah itu. Aku melangkah ke kelas dengan tenang, berharap hari ini berjalan lancar meski hujan yang tak kunjung berhenti masih mengusik pikiranku.
Di kelas, suasana masih cukup sepi. Guru belum datang, dan teman-temanku terlihat sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Aku memilih duduk di bangku samping paling belakang, tempat favoritku. Dari sini, aku bisa melihat pemandangan halaman sekolah yang basah karena hujan. Aku menatap ke luar jendela, memperhatikan rintik air yang jatuh membentuk pola acak di kaca.
Namun, pikiranku tak sepenuhnya pada hujan. Bayangan gadis tadi terus muncul. Bukan hanya wajahnya, tapi juga caranya berdiri di sana, tampak rapuh namun tegar di bawah hujan. "Tadi kenapa dia berdiri disana ya?" gumamku tanpa sadar.
Aku menyandarkan punggung ke kursi, mencoba mengalihkan pikiran. Tapi, tetap saja, rasa penasaran itu belum hilang. tapi dia, dia terlihat begitu sedih tadi
Lamunanku buyar saat suara ceria terdengar dari belakang. "Hei, Souta!"
Aku menoleh dan mendapati Hayato, teman sekelasku, sedang berjalan ke arahku dengan ekspresi santainya. "Nanti mau ikut beli ramen di kedai depan sekolah? Hujan-hujan gini paling enak makan yang anget-anget, kan?"
Aku tersenyum kecil, berusaha melupakan bayangan gadis tadi untuk sementara. "Boleh," jawabku singkat.
Hayato menepuk pundakku dengan ringan. "Sip, nanti kita pergi bareng. Jangan lupa traktir aku, ya!" candanya sambil tertawa kecil sebelum kembali ke tempat duduknya.
Aku menggeleng pelan sambil tersenyum tipis, lalu kembali menatap ke luar jendela. Kali ini, bukan hanya tentang hujan, tapi lebih kepada perasaan asing yang aku sendiri belum mengerti.
Aku memandang keluar jendela lagi, melihat hujan yang terus turun tanpa henti. Dalam hati aku berpikir, kenapa hujan selalu membawa perasaan yang aneh? Seolah-olah ia menyimpan cerita yang tak bisa diungkapkan, hanya dibiarkan jatuh bersama rintik airnya.
"Mungkin itu sebabnya aku suka hujan, ya walaupun kadang sedikit bikin kesal," gumamku pelan. "Bukan karena dinginnya, tapi karena tenangnya
Guru masuk ke kelas pagi itu, membawa suasana tenang yang berpadu dengan suara rintik hujan di luar. Ia mulai mengajar dengan penuh kesabaran, menjelaskan materi dengan lembut hingga suasana terasa nyaman. Ketika pelajaran selesai, hujan di luar mulai mereda, menyisakan aroma segar di udara.
Saat jam istirahat tiba, aku memutuskan pergi ke perpustakaan. Di sana, aku mencari sebuah buku untuk dibaca. Aku memang selalu menyukai buku-buku apalagi buku tentang gunung atau keindahan dan misterinya selalu berhasil menarik perhatianku.
Setelah selesai membaca buku, aku segera kembali ke kelasku karena bel masuk sudah berbunyi. Waktu terasa berlalu begitu saja, dan sebelum kusadari, pelajaran hari itu sudah selesai.
Aku pun bergegas menuju tempat ramen, memenuhi janji dengan temanku seperti yang kami rencanakan sebelumnya. Tapi sepertinya aku berangkat lebih awal ke toko ramen, karena temanku tadi katanya ada keperluan. Aku duduk di tempat ramen itu dan menatap ke jendela
Saat aku menatap ke luar jendela, mataku menangkap sosok gadis yang tadi pagi berdiri sendiri di taman. Kini, dia berjalan melewati depan toko ramen.
Langkahnya terlihat tenang, meskipun sisa hujan masih membasahi jalan. Aku menatapnya sedikit lebih lama, merasa ada sesuatu yang menarik dari dirinya, meskipun aku sendiri tidak tahu apa itu.
Pintu toko terbuka, membuyarkan pikiranku. Hayato akhirnya datang. "Maaf lama, pacarku tadi ribet," ucapnya sambil duduk di depanku.
Aku hanya mengangguk, tapi bayangan gadis itu tetap ada di pikiranku.
Chapter end
Report